”Aneh negara zonder tentara”. Kata-kata itu diucapkan oleh Urip Sumoharjo sebagai reaksi terhadap keputusan Pemerintah RI membentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat), bukan tentara kebangsaan. BKR yang dibentuk tanggal 23 Agustus 1945 itu tak lebih dari hanya badan penjaga keamanan. Sebagai prajurit profesional dan berpengalaman selama seperempat abad dalam dinas ketentaraan, Urip menyadari betapa pentingnya tentara bagi sebuah negara. Apalagi bagi RI yang baru berdiri dan sedang menghadapi ancaman militer dari kekuatan asing.
Apa yang dianggap aneh oleh Urip itu ternyata tidak berlangsung lama. Tanggal 5 Oktober 1945 Presiden RI mengeluarkan dekrit tentang pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat). BKR yang sudah ada sebelumnya dileburkan dalam TKR.
TKR itulah yang berkembang menjadi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) hingga sekarang. Urip lah yang telah meletakkan dasar-dasar perkembangan itu, khususnya dibidang organisasi la dilahirkan tanggal 22 Februari 1893 di Sindurejan, Purworejo, sebagai putera tertua dari R. Sumoharjo, mantri guru HIS (Hollandsch Inlandsche School = Sekolah Dasar). Ibunya adalah puteri dari Raden Tumenggung Wiryokusumo, bupati Trenggalek.
Orang tuanya mengharapkan agar kelak menjadi priyayi, kalau mungkin menjadi bupati seperti kakeknya. Karena itu, sesudah menamatkan HIS, dimasukkan ke OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambetenaren – Sekolah Calon Pegawai Negeri) di Magelang. Tetapi di kota yang terkenal sebagai kota militer ini, perhatian Urip beralih kebidang lain. Ia berkenalan dengan seorang anggota tentara Belanda. Dari tentara ini banyak mendengar kisah tentang kehidupan militer. Lama-kelamaan Urip tertarik dan timbullah niatnya untuk menjadi tentara, tahun 1913 lulus dalam predikat ”taruna teladan”.
Dengan pangkat Letnan Dua KNIL (Koninklijke Nederlandsch Indische Leger = Tentara Kerajaan Hindia Belanda) memulai masa dinasnya sebagai militer. Selama tujuh tahun bertugas di Kalimantan, mula-mula di Banjarmasin, selanjutnya di Tanah Grogot, dekat Balikpapan, dan akhirnya di Malinau. Tahun 1923 dipindahkan ke Cimahi, Jawa Barat. Dari sini dipindahkan lagi ke kota kelahirannya, Purworejo. Berturut-turut sesudah itu ditempatkan di Magelang, Ambarawa, Padang Panjang (Sumatera Barat) dan akhirnya kembali ke Purworejo.
Masyarakat menganggap KNIL sebagai alat pemerintah Belanda untuk menindas rakyat. Pada hakekatnya di dalam KNIL terdapat pribadi-pribadi yang tidak menyetujui semua tindakan pemerintah jajahan, termasuk masalah diskriminasi. Urip adalah salah seorang diantaranya. Di Banjarmasin melancarkan protes terhadap peraturan yang tidak membolehkan perwira-perwira Indonesia memasuki kamar bola (gedung pertemuan). Di Balikpapan menentang peraturan yang dikeluarkan oleh perusahaan minyak BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) yang melarang orang-orang Indonesia menaiki kereta api milik perusahaan tersebut. Dengan protes-protes itu Urip ingin memperingatkan pemerintah Belanda, bahwa orang-orang Indonesia-pun berhak memperoleh perlakuan yang sama dengan orang-orang Belanda dan orang asing lainnya.
Bagaimanapun, Urip adalah seorang Indonesia dan tetap seorang Indonesia. Ia selalu berusaha mengadakan pendekatan secara lunak dengan penduduk di tempat bertugas. Di Padang Panjang, rekan-rekannya menasehati agar berhati-hati, sebab di daerah itu pernah terjadi pembunuhan terhadap seorang pejabat Belanda. Bila akan keluar rumah, hendaklah membawa senjata dan anjing. tetapi nasehat itu tidak diindahkan Urip. Sebaliknya berhasil membina hubungan baik dengan masyarakat setempat.
Sebagai perwira, Urip dinilai cukup berhasil, terutama dalam tugas-tugas patroli. Ia adalah satu-satunya orang Indonesia yang mencapai pangkat Mayor dalam KNIL, tetapi karir militernya dalam KNIL berakhir secara tragis. Pada waktu bertugas untuk kedua kalinya di Purworejo, terjadi peristiwa yang menyebabkan minta berhenti dari dinas militer. Tanggal 31 Agustus 1938 di upacara memperingati hari lahir Ratu Wilhemina, Urip diangkat sebagai ketua panitia, mengeluarkan peraturan yang mengharuskan para undangan hadir di tempat upacara setengah jam sebelum upacara dimulai. Bupati Purworejo datang terlambat. Urip melarang bupati memasuki tempat upacara.
Kasus itu dilaporkan bupati ke Departemen Perang, pejabat yang berkuasa di departemen ini menyalahkan Urip dan memindahkannya ke Gombong dengan memperoleh kenaikan pangkat sebagai Letnan Kolonel. Urip memprotes tidak bersalah, Departemen Perang dituduhnya bertindak tidak adil. Melalui pembicaraan telepon langsung minta berhenti dari dinas militer.
Sesudah berhenti dari dinas militer Urip pindah ke Gentan, tak jauh dari kota Yogyakarta jurusan Kaliurang. Di sana Ia membeli sebidang tanah dan Ia pun mulai mengusahakan pertanian. Hal itu tidak berlangsung lama, sebab di Eropa pecah Perang Dunia II. Negeri Belanda diduduki Jerman dan Pemerintah Hindia Belanda mengumumkan mobilisasi. Urip mendaftarkan diri kembali, diserahi tugas memimpin depo batalyon di Cimahi.
Perang di Eropa menjalar ke Asia, Jepang menyerang Indonesia. Pasukan Belanda tidak cukup kuat untuk menahan serangan itu. Tanggal 8 Maret 1942 pemerintah Hindia-Belanda menyerah kepada Jepang. Semua tentara Belanda menjadi tawanan. Urip termasuk salah seorang diantara tawanan perang itu, kurang lebih tiga bulan lamanya beliau meringkuk dalam rumah tahanan di Cimahi. Bulan Juni 1942 beliau dibebaskan dan Jepang menawarkan jabatan sebagai Komandan Polisi. Urip yang sejak semula bersikap antipati terhadap Jepang, menolak. Beliau kembali ke Gentan, tetapi disini tindak-tanduknya selalu diawasi mata-mata Jepang.
Dalam masa itu beliau sering berhubungan dengan beberapa orang pemuda, antara lain Abdul Haris Nasution yang kelak akan menduduki jabatan penting dalam ABRI. Kepada para pemuda dipesannya agar mereka bersiap-siap untuk menghadapi situasi setelah Jepang kalah. Ia yakin, bahwa pada akhirnya Jepang tidak akan mampu menahan serangan Sekutu. Tanggal 14 Agustus 1945, Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu setelah Hiroshima dan Nagasaki di bom atom. Peristiwa berkembang dengan cepat, tanggal 17 Agustus 1945 Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Urip masih ada di Gentan, tetapi sudah siap menghadapi situasi baru. Ia pun mengetahui berita tentang pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan kemudian TKR. Sampai saat itu Urip tidak menyadari, bahwa akan terlibat dalam kesibukan membina tentara yang baru lahir itu.
Sementara itu di Jakarta, beberapa orang bekas perwira KNIL mulai membicarakan nama Urip dan mengusulkan kepada pemerintah agar diangkat menjadi pimpinan TKR. Atas usul itu wakil Presiden Moh. Hatta mengirim telegram, meminta agar Urip datang ke Jakarta. Usaha pertama yang dilakukan Urip di kota ini, ialah mengumpulkan beberapa orang perwira bekas KNIL. Sesudah itu mereka bcrsama-sama mengeluarkan ”Pernyataan tidak terikat lagi dalam dinas KNIL”. Pernyataan itu ditandatangani oleh 13 orang dan nama Urip terletak pada urutan paling atas.Tanggal 15 Oktober 1945 Urip menghadiri sidang Kabinet RI. Dalam sidang itu diangkat menjadi Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat letnan jenderal. Selain itu ditunjuk pula dua pejabat lain, yakni Supriyadi, bekas pimpinan tentara Peta (Pembela Tanah Air) Blitar yang mengadakan pemberontakan terhadap Jepang bulan Februari 1945 sebagai pimpinan tertinggi TKR dan Muhammad Sulyohadikusumo sebagai Menteri Pertahanan ad interim. Pengangkatan ketiga pejabat itu diumumkan tanggal 20 Oktober 1945. Kemudian ternyata, bahwa dua orang terakhir itu tidak pernah menduduki jabatan mereka. Dengan demikian, pada masa awal itu, praktis Urip-lah satu-satunya yang memimpin TKR.
Beliau memilih Yogyakarta sebagai tempat kedudukannya. Sebuah ruangan di Hotel Merdeka (sekarang Hotel Garuda) dijadikan kantor Markas Besar Umum TKR. Beberapa orang pemuda, antara lain Suryadarma dan Simatupang dipanggilnya untuk membantu menyusun organisasi. Segala-galanya serba kekurangan, sedangkan tugas yang dihadapi cukup berat.
Tentara yang baru lahir itu masih jauh dari sempurna, jumlahnya terlalu banyak dan organisasinya belum teratur. Di daerah-daerah, pasukan-pasukan bermunculan seperti cendawan di musim hujan. Di Jawa terdapat sepuluh divisi, di Sumatera enam divisi, sedangkan Urip bermaksud membentuk hanya tiga divisi di Jawa dan satu divisi di Sumatera. Mengingat situasi pada masa itu, mengalah dan mensahkan divisi-divisi yang sudah ada itu. Sementara itu ancaman dari pihak luar semakin meningkat. Bentrokan-bentrokan fisik dengan Jepang, Sekutu dan Belanda terjadi di berbagai tempat. Dalam keadaan demikian TKR masih belum mempunyai pemimpin tertinggi yang bertanggung-jawab secara penuh. Di Surabaya, seorang tokoh mengangkat dirinya menjadi Menteri Keamanan tanpa persetujuan pemerintah. Hal itu mencemaskan Urip, sebab dapat menimbulkan anarki dalam ketentaraan. Untuk mengatasi hal itu, dalam bulan November 1945 Urip mengundang para Komandan Divisi ke Yogyakarta untuk mengadakan rapat. Acara tunggal ialah memilih seorang panglima TKR. Tokoh yang terpilih ialah Kolonel Sudirman, Komandan Divisi VI
Banyumas. Peristiwa itu merupakan hal yang unik dalam sejarah perkembangan ABRI, yaitu panglimanya tidak diangkat oleh pemerintah, tetapi dipilih oleh anggota-anggotanya sendiri. Sekaligus hal itu memperlihatkan pula, bahwa pemerintah pada masa awal itu, kurang menaruh perhatian terhadap pembinaan tentara. Hal itu sangat disesalkan oleh Urip.
Hasil rapat bulan November itu tidak segera disetujui pemerintah lebih dari satu bulan kemudian pemerintah baru menyetujuinya, dan pada tanggal 18 Desember 1945 Kolonel Sudirman dilantik sebagai Panglima Besar TKR dengan pangkat jenderal. Urip tetap pada jabatannya semula sebagai Kepala Staf Umum dengan pangkat letnan jenderal.
Dalam hubungannya dengan Sudirman yang masih muda, 29 tahun, Urip yang sudah berumur 52 tahun itu ternyata dapat mengatasi hambatan-hambatan yang bersifat psikologis, baik yang disebabkan oleh perbedaan umur, maupun perbedaan pengalaman militer, keduanya saling menghargai dan bekerjasama isi-mengisi.
Masalah-masalah yang menyangkut organisasi diserahkan kepada Urip. Dengan modal pengalaman selama 25 tahun sebagai militer profesional, bekerja menata organisasi TKR. Dalam bulan Januari 1946 nama ”Tentara Keamanan Rakyat” diubah menjadi ”Tentara Keselamatan Rakyat” dengan singkatan tetap TKR. Dalam bulan itu juga, yakni tanggal 26 Januari 1946 nama TKR berubah lagi menjadi ”Tentara Republik Indonesia (TRI)”. Istilah TRI itu dianggap lebih mencerminkan identitasnya sebagai tentara dari suatu negara yang merdeka. Untuk penyempurnaan lebih lanjut, dibentuk Panitia Besar Reorganisasi Tentara. Dalam panitia ini Urip duduk sebagai anggota, dan disini buah pikirannya banyak dipakai. Hasil kerja panitia itu disetujui pemerintah. Organisasi TRI diperbaharui dan jumlah divisi dikurangi. Tanggal 20 Mei 1946 untuk kedua kalinya Letnan Jenderal Urip Sumoharjo dikukuhkan sebagai Kepala Staf Umum TRI.
Dengan apa yang tercapai tersebut belum berarti pekerjaan Urip Sumoharjo sudah selesai. Masalah pertahanan tetap menuntut pemikirannya. Pada waktu itu, disamping TRI sebagai tentara resmi terdapat pula laskar-laskar yang berinduk kepada partai politik atau golongan tertentu. Hubungan antara TRI dengan laskar-laskar ini tidak selalu berjalan lancar. Seringkali terjadi persaingan antara keduanya, dan tentu saja keadaan itu merugikan perjuangan.Dalam TRI sendiri-pun reorganisasi tidak berjalan lancar. Banyak Komandan Divisi tidak bersedia menyerahkan kekuasaan kepada penggantinya seperti yang sudah ditetapkan oleh Panitia Besar Reorganisasi. Hal itu cukup memusingkan Urip. Baginya, perintah adalah perintah,dan setiap perintah harus dilaksanakan. Tetapi sebagai manusia yang hidup dalam masa revolusi, dalam masa emosi lebih banyak berbicara daripada rasio, terkadang Urip terpaksa menerima keadaan yang kurang baik itu. Tindakan-tindakan pemerintahpun seringkali pula memojokkan Urip. Seperti Sudirman, kurang dapat menerima kebijaksanaan pemerintah yang lebih menitik beratkan perjuangan kepada bidang diplomasi. Baginya, kekerasan harus dihadapi dengan kekerasan. Belanda harus dihancurkan sebelum kekuatan mereka terkonsolidasikan. Keadaan di Kementerian Pertahanan pun cukup mengesalkan. Di Kementerian itu terdapat beberapa jawatan yang masing-masing memiliki tentara sendiri dan merupakan saingan bagi TRI. Tentara-tentara ini dikuasai oleh golongan kiri. Hal itu dengan sendirinya menghambat rencana Urip untuk menumbuhkan satu tentara dibawah satu pimpinan. Wajarlah bila prajurit tua itu merasa kecewa dan sakit hati.
Walaupun usaha-usaha untuk menggabungkan laskar ke dalam TRI berhasil di lakukan dengan terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam bulan Juni 1947, namun penggabungan itu belum dapat dilaksanakan secara tuntas. Hal itu disebabkan oleh Agresi Militer I Belanda, 21 Juli 1947 yang dinilai Urip sebagai akibat dari kegagalan perjuangan diplomasi. Kesatuan-kesatuan TNI terpukul keluar kota dan dari situ, setelah berhasil mengadakan konsolidasi, melancarkan serangan balasan. Justru pada saat-saat inisiatif beralih ke tangan TNI, pemerintah menempuh kembali cara diplomasi, yang akhirnya menghasilkan ”Perjanjian Renville”. Akibat perjanjian itu wilayah RI bertambah sempit, dikurang oleh wilayah yang dikuasai Belanda, Di bidang pertahanan, pasukan-pasukan TNI harus meninggalkan basis-basis pertahanan mereka dan dipindahkan ke wilayah yang masih dikuasai RI.
Letnan Jenderal Urip Sumoharjo tidak dapat lagi membendung rasa kesalnya. Apa yang telah dibangunnya dengan susah payah dan memakan waktu yang cukup lama, kini menjadi berantakan. Ia menentang kebijaksanaan pemerintah yang dianggap terlalu menilai rendah Angkatan Perangnya sendiri.
Urip mengundurkan diri dari jabatan Kepala Staf Angkatan Perang dan dari dinas militer, namun Pemerintah masih mengangkatnya sebagai Penasehat Militer Presiden. Tetapi rasa kecewanya tak mungkin lagi diatasi. Sementara itu mulai diserang penyakit jantung.
Apa yang sejak semula diduga dan dicoba Urip dan Sudirman untuk mencegahnya, akhirnya terjadi pula. Tanggal 18 September 1948 ”Partai Komunis Indonesia” (PKI) melancarkan pemberontakan di Madiun. Angkatan Perang terpecah, sebagian berpihak kepada pemberontak, sebagian lagi masih tetap setia kepada pemerintah. Urip tak dapat berbuat apa-apa. la harus beristirahat di rumah sakit. Di saat-saat akhir hidupnya, Urip banyak mengalami kekecewaan. Tanggal 17 November 1948, dalam usia menjelang 56 tahun, Letnan Jenderal Urip Sumoharjo, Kepala Staf Angkatan Perang RI pertama itu, meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan ”Kusumanegara” Semaki, Yogyakarta. Kurang lebih 14 bulan kemudian di samping makamnya, akan terbaring pula jenazah Jenderal Sudirman yang telah bekerjasama dengan Urip Sumoharjo membangun Angkatan Perang melalui masa-masa yang sulit.
Pemerintah menghargai jasa-jasa dan perjuangan Urip Sumoharjo. Pangkatnya dinaikkan menjadi jenderal anumerta. Sebuah Bintang Sakti diberikan tahun 1959 kepadanya yang setahun kemudian disusul dengan Bintang Mahaputera. Dalam tahun 1967 pemerintah menganugerahinya lagi Bintang Republik Indonesia dan tahun 1968 Bintang Kartika Eka Paksi Utama. Semua bintang itu tentu saja diterima oleh istrinya, Rohmah Subroto. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.314 Tahun 1964 tanggal 10 Desember 1964, Urip Sumoharjo, Jenderal TNI Anumerta dianugerahi oleh Pemerintah RI gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Dipublikasikan Oleh : http://ansbiografi.blogspot.com/