Jumat, 08 Mei 2015

Urip Sumoharjo (Oerip Soemohardjo)

”Aneh negara zonder tentara”. Kata-kata itu diucapkan oleh Urip Sumoharjo sebagai reaksi terhadap keputusan Pemerintah RI membentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat), bukan tentara kebangsaan. BKR yang dibentuk tanggal 23 Agustus 1945 itu tak lebih dari hanya badan penjaga keamanan. Sebagai prajurit profesional dan berpengalaman selama seperempat abad dalam dinas ketentaraan, Urip menyadari betapa pentingnya tentara bagi sebuah negara. Apalagi bagi RI yang baru berdiri dan sedang menghadapi ancaman militer dari kekuatan asing.
Apa yang dianggap aneh oleh Urip itu ternyata tidak berlangsung lama. Tanggal 5 Oktober 1945 Presiden RI mengeluarkan dekrit tentang pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat). BKR yang sudah ada sebelumnya dileburkan dalam TKR.
TKR itulah yang berkembang menjadi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) hingga sekarang. Urip lah yang telah meletakkan dasar-dasar perkembangan itu, khususnya dibidang organisasi la dilahirkan tanggal 22 Februari 1893 di Sindurejan, Purworejo, sebagai putera tertua dari R. Sumoharjo, mantri guru HIS (Hollandsch Inlandsche School = Sekolah Dasar). Ibunya adalah puteri dari Raden Tumenggung Wiryokusumo, bupati Trenggalek.

Orang tuanya mengharapkan agar kelak menjadi priyayi, kalau mungkin menjadi bupati seperti kakeknya. Karena itu, sesudah menamatkan HIS, dimasukkan ke OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambetenaren – Sekolah Calon Pegawai Negeri) di Magelang. Tetapi di kota yang terkenal sebagai kota militer ini, perhatian Urip beralih kebidang lain. Ia berkenalan dengan seorang anggota tentara Belanda. Dari tentara ini banyak mendengar kisah tentang kehidupan militer. Lama-kelamaan Urip tertarik dan timbullah niatnya untuk menjadi tentara, tahun 1913 lulus dalam predikat ”taruna teladan”.
Dengan pangkat Letnan Dua KNIL (Koninklijke Nederlandsch Indische Leger = Tentara Kerajaan Hindia Belanda) memulai masa dinasnya sebagai militer. Selama tujuh tahun bertugas di Kalimantan, mula-mula di Banjarmasin, selanjutnya di Tanah Grogot, dekat Balikpapan, dan akhirnya di Malinau. Tahun 1923 dipindahkan ke Cimahi, Jawa Barat. Dari sini dipindahkan lagi ke kota kelahirannya, Purworejo. Berturut-turut sesudah itu ditempatkan di Magelang, Ambarawa, Padang Panjang (Sumatera Barat) dan akhirnya kembali ke Purworejo.

Masyarakat menganggap KNIL sebagai alat pemerintah Belanda untuk menindas rakyat. Pada hakekatnya di dalam KNIL terdapat pribadi-pribadi yang tidak menyetujui semua tindakan pemerintah jajahan, termasuk masalah diskriminasi. Urip adalah salah seorang diantaranya. Di Banjarmasin melancarkan protes terhadap peraturan yang tidak membolehkan perwira-perwira Indonesia memasuki kamar bola (gedung pertemuan). Di Balikpapan menentang peraturan yang dikeluarkan oleh perusahaan minyak BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) yang melarang orang-orang Indonesia menaiki kereta api milik perusahaan tersebut. Dengan protes-protes itu Urip ingin memperingatkan pemerintah Belanda, bahwa orang-orang Indonesia-pun berhak memperoleh perlakuan yang sama dengan orang-orang Belanda dan orang asing lainnya.

Bagaimanapun, Urip adalah seorang Indonesia dan tetap seorang In­donesia. Ia selalu berusaha mengadakan pendekatan secara lunak dengan penduduk di tempat bertugas. Di Padang Panjang, rekan-rekannya menasehati agar berhati-hati, sebab di daerah itu pernah terjadi pembunuhan terhadap seorang pejabat Belanda. Bila akan keluar rumah, hendaklah membawa senjata dan anjing. tetapi nasehat itu tidak diindahkan Urip. Sebaliknya berhasil membina hubungan baik dengan masyarakat setempat.

Sebagai perwira, Urip dinilai cukup berhasil, terutama dalam tugas-tugas patroli. Ia adalah satu-satunya orang Indonesia yang mencapai pangkat Mayor dalam KNIL, tetapi karir militernya dalam KNIL berakhir secara tragis. Pada waktu bertugas untuk kedua kalinya di Purworejo, terjadi peristiwa yang menyebabkan minta berhenti dari dinas militer. Tanggal 31 Agustus 1938 di upacara memperingati hari lahir Ratu Wilhemina, Urip diangkat sebagai ketua panitia, mengeluarkan peraturan yang mengharuskan para undangan hadir di tempat upacara setengah jam sebelum upacara dimulai. Bupati Purworejo datang terlambat. Urip melarang bupati memasuki tempat upacara.

Kasus itu dilaporkan bupati ke Departemen Perang, pejabat yang berkuasa di departemen ini menyalahkan Urip dan memindahkannya ke Gombong dengan memperoleh kenaikan pangkat sebagai Letnan Kolonel. Urip memprotes tidak bersalah, Departemen Perang dituduhnya bertindak tidak adil. Melalui pembicaraan telepon langsung minta berhenti dari dinas militer.
Sesudah berhenti dari dinas militer Urip pindah ke Gentan, tak jauh dari kota Yogyakarta jurusan Kaliurang. Di sana Ia membeli sebidang tanah dan Ia pun mulai mengusahakan pertanian. Hal itu tidak berlangsung lama, sebab di Eropa pecah Perang Dunia II. Negeri Belanda diduduki Jerman dan Pemerintah Hindia Belanda mengumumkan mobilisasi. Urip mendaftarkan diri kembali, diserahi tugas memimpin depo batalyon di Cimahi.

Perang di Eropa menjalar ke Asia, Jepang menyerang Indonesia. Pasukan Belanda tidak cukup kuat untuk menahan serangan itu. Tanggal 8 Maret 1942 pemerintah Hindia-Belanda menyerah kepada Jepang. Semua tentara Belanda menjadi tawanan. Urip termasuk salah seorang diantara tawanan perang itu, kurang lebih tiga bulan lamanya beliau meringkuk dalam rumah tahanan di Cimahi. Bulan Juni 1942 beliau dibebaskan dan Jepang menawarkan jabatan sebagai Komandan Polisi. Urip yang sejak semula bersikap antipati terhadap Jepang, menolak. Beliau kembali ke Gentan, tetapi disini tindak-tanduknya selalu diawasi mata-mata Jepang.
Dalam masa itu beliau sering berhubungan dengan beberapa orang pemuda, antara lain Abdul Haris Nasution yang kelak akan menduduki jabatan penting dalam ABRI. Kepada para pemuda dipesannya agar mereka bersiap-siap untuk menghadapi situasi setelah Jepang kalah. Ia yakin, bahwa pada akhirnya Jepang tidak akan mampu menahan serangan Sekutu. Tanggal 14 Agustus 1945, Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu setelah Hiroshima dan Nagasaki di bom atom. Peristiwa berkembang dengan cepat, tanggal 17 Agustus 1945 Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Urip masih ada di Gentan, tetapi sudah siap menghadapi situasi baru. Ia pun mengetahui berita tentang pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan kemudian TKR. Sampai saat itu Urip tidak menyadari, bahwa akan terlibat dalam kesibukan membina tentara yang baru lahir itu.

Sementara itu di Jakarta, beberapa orang bekas perwira KNIL mulai membicarakan nama Urip dan mengusulkan kepada pemerintah agar diangkat menjadi pimpinan TKR. Atas usul itu wakil Presiden Moh. Hatta mengirim telegram, meminta agar Urip datang ke Jakarta. Usaha pertama yang dilakukan Urip di kota ini, ialah mengumpulkan beberapa orang perwira bekas KNIL. Sesudah itu mereka bcrsama-sama mengeluarkan ”Pernyataan tidak terikat lagi dalam dinas KNIL”. Pernyataan itu ditandatangani oleh 13 orang dan nama Urip terletak pada urutan paling atas.Tanggal 15 Oktober 1945 Urip menghadiri sidang Kabinet RI. Dalam sidang itu diangkat menjadi Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat letnan jenderal. Selain itu ditunjuk pula dua pejabat lain, yakni Supriyadi, bekas pimpinan tentara Peta (Pembela Tanah Air) Blitar yang mengadakan pemberontakan terhadap Jepang bulan Februari 1945 sebagai pimpinan tertinggi TKR dan Muhammad Sulyohadikusumo sebagai Menteri Pertahanan ad in­terim. Pengangkatan ketiga pejabat itu diumumkan tanggal 20 Oktober 1945. Kemudian ternyata, bahwa dua orang terakhir itu tidak pernah menduduki jabatan mereka. Dengan demikian, pada masa awal itu, praktis Urip-lah satu-satunya yang memimpin TKR.

Beliau memilih Yogyakarta sebagai tempat kedudukannya. Sebuah ruangan di Hotel Merdeka (sekarang Hotel Garuda) dijadikan kantor Markas Besar Umum TKR. Beberapa orang pemuda, antara lain Suryadarma dan Simatupang dipanggilnya untuk membantu menyusun organisasi. Segala-galanya serba kekurangan, sedangkan tugas yang dihadapi cukup berat.
Tentara yang baru lahir itu masih jauh dari sempurna, jumlahnya terlalu banyak dan organisasinya belum teratur. Di daerah-daerah, pasukan-pasukan bermunculan seperti cendawan di musim hujan. Di Jawa terdapat sepuluh divisi, di Sumatera enam divisi, sedangkan Urip bermaksud membentuk hanya tiga divisi di Jawa dan satu divisi di Sumatera. Mengingat situasi pada masa itu, mengalah dan mensahkan divisi-divisi yang sudah ada itu. Sementara itu ancaman dari pihak luar semakin meningkat. Bentrokan-bentrokan fisik dengan Jepang, Sekutu dan Belanda terjadi di berbagai tempat. Dalam keadaan demikian TKR masih belum mempunyai pemimpin tertinggi yang bertanggung-jawab secara penuh. Di Surabaya, seorang tokoh mengangkat dirinya menjadi Menteri Keamanan tanpa persetujuan pemerintah. Hal itu mencemaskan Urip, sebab dapat menimbulkan anarki dalam ketentaraan. Untuk mengatasi hal itu, dalam bulan November 1945 Urip mengundang para Komandan Divisi ke Yogyakarta untuk mengadakan rapat. Acara tunggal ialah memilih seorang panglima TKR. Tokoh yang terpilih ialah Kolonel Sudirman, Komandan Divisi VI
Banyumas. Peristiwa itu merupakan hal yang unik dalam sejarah perkembangan ABRI, yaitu panglimanya tidak diangkat oleh pemerintah, tetapi dipilih oleh anggota-anggotanya sendiri. Sekaligus hal itu memperlihatkan pula, bahwa pemerintah pada masa awal itu, kurang menaruh perhatian terhadap pembinaan tentara. Hal itu sangat disesalkan oleh Urip.

Hasil rapat bulan November itu tidak segera disetujui pemerintah lebih dari satu bulan kemudian pemerintah baru menyetujuinya, dan pada tanggal 18 Desember 1945 Kolonel Sudirman dilantik sebagai Panglima Besar TKR dengan pangkat jenderal. Urip tetap pada jabatannya semula sebagai Kepala Staf Umum dengan pangkat letnan jenderal.
Dalam hubungannya dengan Sudirman yang masih muda, 29 tahun, Urip yang sudah berumur 52 tahun itu ternyata dapat mengatasi hambatan-hambatan yang bersifat psikologis, baik yang disebabkan oleh perbedaan umur, maupun perbedaan pengalaman militer, keduanya saling menghargai dan bekerjasama isi-mengisi.

Masalah-masalah yang menyangkut organisasi diserahkan kepada Urip. Dengan modal pengalaman selama 25 tahun sebagai militer profesional, bekerja menata organisasi TKR. Dalam bulan Januari 1946 nama ”Tentara Keamanan Rakyat” diubah menjadi ”Tentara Keselamatan Rakyat” dengan singkatan tetap TKR. Dalam bulan itu juga, yakni tanggal 26 Januari 1946 nama TKR berubah lagi menjadi ”Tentara Republik Indonesia (TRI)”. Istilah TRI itu dianggap lebih mencerminkan identitasnya sebagai tentara dari suatu negara yang merdeka. Untuk penyempurnaan lebih lanjut, dibentuk Panitia Besar Reorganisasi Tentara. Dalam panitia ini Urip duduk sebagai anggota, dan disini buah pikirannya banyak dipakai. Hasil kerja panitia itu disetujui pemerintah. Organisasi TRI diperbaharui dan jumlah divisi dikurangi. Tanggal 20 Mei 1946 untuk kedua kalinya Letnan Jenderal Urip Sumoharjo dikukuhkan sebagai Kepala Staf Umum TRI.

Dengan apa yang tercapai tersebut belum berarti pekerjaan Urip Sumoharjo sudah selesai. Masalah pertahanan tetap menuntut pemikirannya. Pada waktu itu, disamping TRI sebagai tentara resmi terdapat pula laskar-laskar yang berinduk kepada partai politik atau golongan tertentu. Hubungan antara TRI dengan laskar-laskar ini tidak selalu berjalan lancar. Seringkali terjadi persaingan antara keduanya, dan tentu saja keadaan itu merugikan perjuangan.Dalam TRI sendiri-pun reorganisasi tidak berjalan lancar. Banyak Komandan Divisi tidak bersedia menyerahkan kekuasaan kepada penggantinya seperti yang sudah ditetapkan oleh Panitia Besar Reorganisasi. Hal itu cukup memusingkan Urip. Baginya, perintah adalah perintah,dan setiap perintah harus dilaksanakan. Tetapi sebagai manusia yang hidup dalam masa revolusi, dalam masa emosi lebih banyak berbicara daripada rasio, terkadang Urip terpaksa menerima keadaan yang kurang baik itu. Tindakan-tindakan pemerintahpun seringkali pula memojokkan Urip. Seperti Sudirman, kurang dapat menerima kebijaksanaan pemerintah yang lebih menitik beratkan perjuangan kepada bidang diplomasi. Baginya, kekerasan harus dihadapi dengan kekerasan. Belanda harus dihancurkan sebelum kekuatan mereka terkonsolidasikan. Keadaan di Kementerian Pertahanan pun cukup mengesalkan. Di Kementerian itu terdapat beberapa jawatan yang masing-masing memiliki tentara sendiri dan merupakan saingan bagi TRI. Tentara-tentara ini dikuasai oleh golongan kiri. Hal itu dengan sendirinya menghambat rencana Urip untuk menumbuhkan satu tentara dibawah satu pimpinan. Wajarlah bila prajurit tua itu merasa kecewa dan sakit hati.

Walaupun usaha-usaha untuk menggabungkan laskar ke dalam TRI berhasil di lakukan dengan terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam bulan Juni 1947, namun penggabungan itu belum dapat dilaksanakan secara tuntas. Hal itu disebabkan oleh Agresi Militer I Belanda, 21 Juli 1947 yang dinilai Urip sebagai akibat dari kegagalan perjuangan diplomasi. Kesatuan-kesatuan TNI terpukul keluar kota dan dari situ, setelah berhasil mengadakan konsolidasi, melancarkan serangan balasan. Justru pada saat-saat inisiatif beralih ke tangan TNI, pemerintah menempuh kembali cara diplomasi, yang akhirnya menghasilkan ”Perjanjian Renville”. Akibat perjanjian itu wilayah RI bertambah sempit, dikurang oleh wilayah yang dikuasai Belanda, Di bidang pertahanan, pasukan-pasukan TNI harus meninggalkan basis-basis pertahanan mereka dan dipindahkan ke wilayah yang masih dikuasai RI.

Letnan Jenderal Urip Sumoharjo tidak dapat lagi membendung rasa kesalnya. Apa yang telah dibangunnya dengan susah payah dan memakan waktu yang cukup lama, kini menjadi berantakan. Ia menentang kebijaksanaan pemerintah yang dianggap terlalu menilai rendah Angkatan Perangnya sendiri.
Urip mengundurkan diri dari jabatan Kepala Staf Angkatan Perang dan dari dinas militer, namun Pemerintah masih mengangkatnya sebagai Penasehat Militer Presiden. Tetapi rasa kecewanya tak mungkin lagi diatasi. Sementara itu mulai diserang penyakit jantung.

Apa yang sejak semula diduga dan dicoba Urip dan Sudirman untuk mencegahnya, akhirnya terjadi pula. Tanggal 18 September 1948 ”Partai Komunis Indonesia” (PKI) melancarkan pemberontakan di Madiun. Angkatan Perang terpecah, sebagian berpihak kepada pemberontak, sebagian lagi masih tetap setia kepada pemerintah. Urip tak dapat berbuat apa-apa. la harus beristirahat di rumah sakit. Di saat-saat akhir hidupnya, Urip banyak mengalami kekecewaan. Tanggal 17 November 1948, dalam usia menjelang 56 tahun, Letnan Jenderal Urip Sumoharjo, Kepala Staf Angkatan Perang RI pertama itu, meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan ”Kusumanegara” Semaki, Yogyakarta. Kurang lebih 14 bulan kemudian di samping makamnya, akan terbaring pula jenazah Jenderal Sudirman yang telah bekerjasama dengan Urip Sumoharjo membangun Angkatan Perang melalui masa-masa yang sulit.

Pemerintah menghargai jasa-jasa dan perjuangan Urip Sumoharjo. Pangkatnya dinaikkan menjadi jenderal anumerta. Sebuah Bintang Sakti diberikan tahun 1959 kepadanya yang setahun kemudian disusul dengan Bintang Mahaputera. Dalam tahun 1967 pemerintah menganugerahinya lagi Bintang Republik Indonesia dan tahun 1968 Bintang Kartika Eka Paksi Utama. Semua bintang itu tentu saja diterima oleh istrinya, Rohmah Subroto. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.314 Tahun 1964 tanggal 10 Desember 1964, Urip Sumoharjo, Jenderal TNI Anumerta dianugerahi oleh Pemerintah RI gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Dipublikasikan Oleh : http://ansbiografi.blogspot.com/

RA Kartini

Raden Ajeng Kartini lahir pada 21 April tahun 1879 di kota Jepara, Jawa Tengah. Ia anak salah seorang bangsawan yang masih sangat taat pada adat istiadat. Setelah lulus dari Sekolah Dasar ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan. Kartini kecil sangat sedih dengan hal tersebut, ia ingin menentang tapi tak berani karena takut dianggap anak durhaka. Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya di taman rumah dengan ditemani Simbok (pembantunya).

Akhirnya membaca menjadi kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia). Timbul keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Wanita tidak hanya didapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tak berapa lama ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.

Beasiswa yang didapatkannya tidak sempat dimanfaatkan Kartini karena ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke daerah Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah wanita. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi sombong, ia tetap santun, menghormati keluarga dan siapa saja, tidak membedakan antara yang miskin dan kaya.

Pada tanggal 17 september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon memngumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Saat ini mudah-mudahan di Indonesia akan terlahir kembali Kartini-kartini lain yang mau berjuang demi kepentingan orang banyak. Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan
jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.

Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu. Belakangan ini, penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar agak diperdebatkan. Dengan berbagai argumentasi, masing-masing pihak memberikan pendapat masing-masing. Masyarakat yang tidak begitu menyetujui, ada yang hanya tidak merayakan Hari Kartini namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.

Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya. Namun yang lebih ekstrim mengatakan, masih ada pahlawan wanita lain yang lebih hebat daripada RA Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Dan berbagai alasan lainnya. Sedangkan mereka yang pro malah mengatakan Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja melainkan adalah tokoh nasional artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah dalam skop nasional. Sekalipun Sumpah Pemuda belum dicetuskan waktu itu, tapi pikiran-pikirannya tidak terbatas pada daerah kelahiranya atau tanah Jawa saja. Kartini sudah mencapai kedewasaan berpikir nasional sehingga nasionalismenya sudah seperti yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda 1928.

Terlepas dari pro kontra tersebut, dalam sejarah bangsa ini kita banyak mengenal nama-nama pahlawan wanita kita seperti Cut Nya’ Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, dan lainnya. Mereka berjuang di daerah, pada waktu, dan dengan cara yang berbeda. Ada yang berjuang di Aceh, Jawa, Maluku, Menado dan lainnya. Ada yang berjuang pada zaman penjajahan Belanda, pada zaman penjajahan Jepang, atau setelah kemerdekaan. Ada yang berjuang dengan mengangkat senjata, ada yang melalui pendidikan, ada yang melalui organisasi maupun cara lainnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang bangsa, pahlawan-pahlawan bangsa yang patut kita hormati dan teladani.

Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari belenggu diskriminasi. Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.

Referensi :
- http://chrissanta.wordpress.com
- http://www.dapunta.com/raden-ajeng-kartini-1879-1904.html

Bung Tomo (Sutomo)

bung tomo, pahlawan, biografi

Sutomo atau Bung Tomo lahir di Surabaya, Jawa Timur, 3 Oktober 1920, Sutomo dilahirkan di Kampung Blauran, di pusat kota Surabaya. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Ia pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda. Ia mengaku mempunyai pertalian darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran Diponegoro yang dikebumikan di Malang. Ibunya berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura.

Ayahnya adalah seorang serba bisa. Ia pernah bekerja sebagai polisi di kotapraja, dan pernah pula menjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke Surabaya dan menjadi distributor lokal untuk perusahaan mesin jahit Singer. Sutomo dibesarkan di rumah yang sangat menghargai pendidikan. Ia berbicara dengan terus terang dan penuh semangat. Ia suka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan. Pada usia 12 tahun, ketika ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO, Sutomo melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu. Belakangan ia menyelesaikan pendidikan HBS-nya lewat korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.

Sutomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Belakangan Sutomo menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya. Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda. Sebelum pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya dicapai oleh tiga orang Indonesia.

Sutomo pernah menjadi seorang jurnalis yang sukses. Kemudian ia bergabung dengan sejumlah kelompok politik dan sosial. Ketika ia terpilih pada 1944 untuk menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru yang disponsori Jepang, hampir tak seorang pun yang mengenal dia. Namun semua ini mempersiapkan Sutomo untuk peranannya yang sangat penting, ketika pada Oktober dan November 1945, ia menjadi salah satu Pemimpin yang menggerakkan dan membangkitkan semangat rakyat Surabaya, yang pada waktu itu Surabaya diserang habis-habisan oleh tentara-tentara NICA. Sutomo terutama sekali dikenang karena seruan-seruan pembukaannya di dalam siaran-siaran radionya yang penuh dengan emosi. Meskipun Indonesia kalah dalam Pertempuran 10 November itu, kejadian ini tetap dicatat sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Kemerdekaan Indonesia.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Sutomo sempat terjun dalam dunia politik pada tahun 1950-an, namun ia tidak merasa bahagia dan kemudian menghilang dari panggung politik. Pada akhir masa pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Soeharto yang mula-mula didukungnya, Sutomo kembali muncul sebagai tokoh nasional.

Padahal, berbagai jabatan kenegaraan penting pernah disandang Bung Tomo. Ia pernah menjabat Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim pada 1955-1956 di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Bung Tomo juga tercatat sebagai anggota DPR pada 1956-1959 yang mewakili Partai Rakyat Indonesia. Namun pada awal 1970-an, ia kembali berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Ia berbicara dengan keras terhadap program-program Suharto sehingga pada 11 April 1978 ia ditahan oleh pemerintah Indonesia yang tampaknya khawatir akan kritik-kritiknya yang keras. Baru setahun kemudian ia dilepaskan oleh Suharto. Meskipun semangatnya tidak hancur di dalam penjara, Sutomo tampaknya tidak lagi berminat untuk bersikap vokal.

Ia masih tetap berminat terhadap masalah-masalah politik, namun ia tidak pernah mengangkat-angkat peranannya di dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Ia sangat dekat dengan keluarga dan anak-anaknya, dan ia berusaha keras agar kelima anaknya berhasil dalam pendidikannya. Sutomo sangat bersungguh-sungguh dalam kehidupan imannya, namun tidak menganggap dirinya sebagai seorang Muslim saleh, ataupun calon pembaharu dalam agama. Pada 7 Oktober 1981 ia meninggal dunia di Padang Arafah, ketika sedang menunaikan ibadah haji. Berbeda dengan tradisi untuk memakamkan para jemaah haji yang meninggal dalam ziarah ke tanah suci, jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya.

Setelah pemerintah didesak oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar (FPG) agar memberikan gelar pahlawan kepada Bung Tomo pada 9 November 2007. Akhirnya gelar pahlawan nasional diberikan ke Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November2008. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2 November 2008 di Jakarta.

Dipublikasikan Oleh : http://ansbiografi.blogspot.com/
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Sutomo

Jendral Besar Sudirman

Biografi Jendral Besar Soedirman. Seluruh masyarakat Indonesia pasti mengenal salah satu pahlawan besar ini, namanya sangat terkenal di Indonesia diaalah Jendral Besar Soedirman menurut Ejaan Soewandi dibaca Sudirman, Ia merupakan salah satu orang yang memperoleh pangkat bintang lima selain Soeharto dan A.H Nasution. Jenderal besar Indonesia ini lahir di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga, 24 Januari 1916. Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh besar di antara sedikit orang lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu revolusi. Saat usianya masih 31 tahun ia sudah menjadi seorang jenderal. Meski menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda. Ia berlatar belakang seorang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan giat di kepanduan Hizbul Wathan

Profil dan Biografi Jendral Besar Sudirman

Ketika pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yang begitu tamat pendidikan, langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI). Ia merupakan Pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak perduli pada keadaan dirinya sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal pertama dan termuda Republik ini.

Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II Belanda. Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam keadaan sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini.

Sudirman yang dilahirkan di Bodas Karangjati, Purbalingga, 24 Januari 1916, ini memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah yang terkenal berjiwa nasional yang tinggi. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tapi tidak sampai tamat. Sudirman muda yang terkenal disiplin dan giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan ini kemudian menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Kedisiplinan, jiwa pendidik dan kepanduan itulah kemudian bekal pribadinya hingga bisa menjadi pemimpin tertinggi Angkatan Perang.

Sementara pendidikan militer diawalinya dengan mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Setelah selesai pendidikan, ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Ketika itu, pria yang memiliki sikap tegas ini sering memprotes tindakan tentara Jepang yang berbuat sewenang-wenang dan bertindak kasar terhadap anak buahnya. Karena sikap tegasnya itu, suatu kali dirinya hampir saja dibunuh oleh tentara Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran dengan pasukan

Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh pangkat Jenderal tidak melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana lazimnya, tapi karena prestasinya.

Ketika pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang, ternyata tentara Belanda ikut dibonceng. Karenanya, TKR akhirnya terlibat pertempuran dengan tentara sekutu. Demikianlah pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkanlah serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran yang berkobar selama lima hari itu akhirnya memaksa pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.

Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang berfungsi.

Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat keadaan itu, walaupun Presden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara.

Melakukan Perang Gerilya
Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga hampir-hampir tidak ada. Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dia sendiri tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu dibutuhkan.

Sudirman yang pada masa pendudukan Jepang menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas, ini pernah mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Jenderal yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi, ini akhirnya harus meninggal pada usia yang masih relatif muda, 34 tahun. Pada tangal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan.

Berikut Ini Data Lengkap Tentang Jendral Besar Soedirman

Pengalaman Pekerjaan: 
Guru di HIS Muhammadiyah di Cilacap 
Pengalaman Organisasi: 
Kepanduan Hizbul Wathan 

Jabatan di Militer: 
- Panglima Besar TKR/TNI, dengan pangkat Jenderal Besar Bintang Lima 
- Panglima Divisi V/Banyumas, dengan pangkat Kolonel 
- Komandan Batalyon di Kroya 

Tanda Penghormatan: 
Pahlawan Pembela Kemerdekaan


Dipublikasikan Oleh : http://ansbiografi.blogspot.com/
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Sutomo